Tanpa Label Halal Tidak Halal?
Menyoal Komodifikasi Agama dan Fenomena Urban Sufisme
oleh : Muhammad Atthallah, Nuvaisa Shabrina, Raka Ichsanata, Refina Anjani Puspita, Rizky Demas Arjunanda, Rumi Rayhan Pekerti
Pada 2016, salah satu merek hijab dan busana muslim di Indonesia yang telah berdiri sejak 2005, Zoya, mengumumkan bahwa produk Zoya telah menerima sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) diikuti iklan komersial televisi yang menegaskan kehalalan produk-produk Zoya (Arianti & Purnama, 2019). “Yakin hijab yang kita gunakan halal?” menjadi slogan Zoya pada baliho-balihonya di jalan-jalan besar. Fenomena ini diikuti dengan promosi tisu halal, panci halal, kulkas halal, hingga adanya label halal pada troli-troli di swalayan-swalayan. Setiap harinya, kita semakin akrab dengan produk-produk sehari-hari bersertifikat halal. MUI bahkan mengeluarkan pernyataan dan peraturan bahwa sepatu, baju, dan semua produk sandang harus memiliki sertifikat halal (Wibisono, 2016). Fenomena ini menimbulkan perdebatan apakah pakaian memiliki agama? Perlukah pakaian dan barang-barang sehari-hari memiliki sertifikasi halal? Bagaimana konteks dinamika Islam kontemporer menjelaskan fenomena ini? Esai singkat ini akan mencoba menelisik pertanyaan-pertanyaan tersebut satu persatu.
Urban-Sufisme
Secara umum, sufisme dapat didefinisikan sebagai proses pendekatan diri dengan Allah SWT (Jati, 2015). Sufisme muncul kurang lebih pada awal sejarah Islam (Knysh, 2006). Seiring berjalannya waktu, gesekan antara modernitas dan sufisme menghasilkan fenomena sufisme urban. Terma ini menjadi sering digunakan setelah Julie D. Howell menggunakannya di dalam studi antropologinya terkait dengan pergerakan Sufisme di Indonesia pada area urban. Modernitas memunculkan suatu kehidupan yang bersifat mekanik — kehidupan statis yang berorientasi pada kerutinan (Anis, 2013). Sufisme kemudian dianggap sebagai salah satu solusi terhadap problematika ini. Proses pendekatan diri dengan Allah SWT merupakan upaya untuk mengartikulasikan perasaan dan keinginan di dalam suatu masyarakat yang teralienasi. Karakteristik pembeda antara urban sufisme dan sufisme pada umumnya adalah hubungannya yang erat dengan materi duniawi. Praktisi sufisme urban dengan tendensi konsumerisme yang terbentuk dari modernisasi yang berusaha untuk menghubungkan agama dengan hal-hal material yang terikat erat dengan kehidupannya. Contohnya adalah labelisasi halal yang pada awalnya eksklusif pada makanan maupun minuman, mulai diaplikasikan ke berbagai produk sehari-hari lainnya, seperti pakaian dan sepatu.
Persimpangan antara Sufisme dan Identitas
Banyaknya hal berbau agama di kehidupan sehari-hari membuat orang berpikir bahwa sebuah produk halal sudah sewajarnya menampilkan label halal. Sebuah penelitian pada pelanggan produk busana muslim Zoya di Kota Malang menunjukkan bahwa persepsi label halal berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian dimana label tersebut berhasil membuat banyak orang untuk memutuskan aksi beli (Alim, Mawardi & Bafadhal, 2018). Munculnya produk berlabel halal yang terbukti dapat meningkatkan penjualan tentunya juga akan memberikan pengaruh bagi produsen lain untuk juga menerapkan sertifikasi halal pada produknya. Bahkan, saat ini telah ada produk lemari es yang bersertifikat halal (“Lemari Es Bersertifikat HALAL Pertama di Indonesia Dari SHARP”, 2018). Produk yang telah jelas merupakan produk halal seakan menjadi perlu untuk dilabeli halal. Padahal, dalam sejarah pelabelan halal di Indonesia, produk yang diberi label pada mulanya justru produk yang haram karena pertimbangan bahwa hampir semua produk yang beredar di Indonesia merupakan produk halal sehingga lebih efektif (Isnaeni, 2016). Ini menunjukkan bahwa sufisme urban dapat menciptakan suatu identitas baru bagi masyarakat untuk hanya mengenakan dan mengkonsumsi produk berlabelkan halal.
Fenomena label halal kemudian jika kita lihat dengan lebih kritis merupakan perpanjangan tangan dari fenomena sufisme urban. Kelompok urban kelas menengah cenderung berpikir dalam kerangka yang sangat positivistik dimana dunia kadang dipandang hitam-putih. Dalam fenomena label halal, hal ini berarti ada asumsi tersendiri bahwa “sesuatu” hanya bisa halal atau haram (Rubaidi, 2018). Pola pikir yang demikian kemudian mendorong fenomena apa yang dapat kita sebut sebagai “komodifikasi agama”. Agama dalam urban-sufisme menjadi sesuatu untuk dikonsumsi, sesuatu untuk “mengobati” kehampaan hidup dalam kapitalisme (Misbah, 2011). Kelas menengah kota kemudian terdorong membeli “kehalalan” dalam rangka memenuhi kebutuhan identitasnya sebagai Muslim. Label halal dari fungsi fungsionalnya untuk membantu mendapat makanan bagi Muslim berubah menjadi alat identitas dimana Muslim urban memenuhi identitas dari penggunaan label tersebut.
Islam dan Modernitas : Urban Sufisme
Sufisme sebagai doktrin spiritual telah lama menjadi opsi bagi banyak Muslim di belahan dunia sebagai gaya beragama yang lebih toleran adaptif. Inkorporasi kebiasaan dan tradisi lokal biasanya membuat sufisme dikenal sebagai kepercayaan “populer” (Bruinessen et al., 2009). Karakteristik fleksibel inilah yang membuat sufisme dapat tumbuh di berbagai titik urban Indonesia, kemudian bersilangan dengan kebiasaan lain penduduknya, yaitu melekatkan nilai spiritual terhadap sesuatu yang tangible (akhirnya termanifestasikan dalam bentuk barang berlabel halal). Maka dari itu, keberadaan dan signifikansi sosio-politik Sufisme makin kentara di Indonesia.
Kesimpulan
Urban sufisme datang sebagai titik tengah, pertemuan dari kebutuhan spiritualitas dan kehidupan duniawi yang materialistis. Yang menjadi soal adalah bagaimana jika paham ini berkembang di jalur yang salah dan pada akhirnya menciptakan cara pandang yang sebenarnya tidak perlu, contohnya seperti komodifikasi agama yang sudah kami bahas di atas. Menjual jilbab tentulah bukan hal yang salah, tapi lain perkara apabila yang dijual adalah agama. Komodifikasi agama menjadi perdebatan karena bukan atribut atau simbol agama yang dijadikan komoditas pasar, akan tetapi nilai dari agama itu sendiri. Orang-orang menjadi cenderung membeli produk-produk berlabel halal, bukan karena produk tanpa label halal adalah produk haram, akan tetapi dengan alasan untuk memenuhi kehausan identitasnya sebagai seorang Muslim. Padahal agama merupakan institusi yang sakral dan istimewa, yang perlu dijauhkan dari — meminjam istilah Karl Marx — pertukaran tunai yang tidak berperasaan. Di sinilah titik di mana urban sufisme perlu memberi limit akan pemahamannya.
Referensi
Alim, S. A., Mawardi, M. K., & Bafadhal, A. S. (2018). Pengaruh Persepsi Label Halal dan Kualitas Produk Terhadap Keputusan Pembelian Produk Fesyen Muslim (Survei pada Pelanggan Produk Zoya Muslim di Kota Malang). Jurnal Administrasi Bisnis, 62(1), 127–134.
Anis, M. (2013). Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan. Jurnal Bayan, 2(4), 1–15.
Arianti, R. T., & Purnama, H. (2019). Komodifikasi Kata “Halal” Pada Iklan Hijab Zoya. LINIMASA: JURNAL ILMU KOMUNIKASI, 2(2), 30–39.
Bruinessen, Martin van (2008): ‘Sufism, “Popular” Islam and the Encounter with Modernity’, in: Khalid Masud/Armando Salvatore/Martin van Bruinessen (eds): Islam and Modernity: Key Issues and Debates, Edinburgh: Edinburgh University Press, pp.125–57
Isnaeni, H. (2016). Sejarah Awal Label Halal. Retrieved 2 June 2021, from https://historia.id/agama/articles/sejarah-awal-label-halal-PNRMZ/page/1
Jati, W. R. (2015). Sufisme Urban di Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menengah Muslim. Jurnal Kajian & Pengembangan Manajemen Dakwah, 5.
Knysh, Alexander D. (2006). Ṣūfism and the Qurʾān. dalam McAuliffe, Jane Dammen (ed.). Encyclopaedia of the Qurʾān.
Lemari Es Bersertifikat HALAL Pertama di Indonesia Dari SHARP. (2018). Retrieved 2 June 2021, from https://id.sharp/news/lemari-es-bersertifikat-halal-pertama-di-indonesia-dari-sharp
Misbah, M. (2011). Fenomena Urban Spiritualitas Solusi Atas Kegersangan Spiritual Masyarakat Kota. Neliti
Mustofa, F. (2012). Urban Sufism: The New Spirituality of Urban Communities in Indonesia.
Rubaidi, R. (2018). The Role of Urban Sufism of Shalawat Muhammad Assembly on Urban Middle Class Society. Jurnal Ushuluddin, 26(2), 183–199.
Wibisono, G. (2016). MUI: Sepatu dan Baju Harus Punya Sertifikasi Halal : Okezone Nasional. Retrieved 2 June 2021, from https://nasional.okezone.com/read/2016/03/25/337/1345524/mui-sepatu-dan-baju-harus-punya-sertifikasi-halal