Politik Agama Ortodoks : Pengikat Solidaritas Politik Mayoritas, Pemotong Hak Minoritas

Refina Anjani Puspita
10 min readJan 23, 2022

--

Studi Kasus Politik dan Agama Bangladesh, Pakistan, dan India

Photo by Bhushan Sadani on Unsplash

Esai ini dibuat untuk tugas akhir kelas Agama dan Politik Asia Selatan

Akhir-akhir ini menjadi trend di kalangan akademisi, khususnya kelompok pascakolonialis, untuk melihat gesekan antara India, Pakistan, dan Bangladesh — atau jika ditarik lebih jauh lagi — perselisihan antara Hindu dan Muslim di daerah tersebut sebagai warisan dari sistem British Raj milik pemerintah kolonial Inggris. Seringkali, kebijakan kolonial seperti Indian Councils Act of 1909 yang memberikan jatah kursi terpisah untuk Muslim India dalam pemilihan lokal, serta peran Inggris dalam partisi India 1947, diilustrasikan sebagai bukti bahwa Inggris lah yang menabur konflik antaragama di sub-benua India (Pillalamarri, 2019). Lensa yang sama otomatis mengamini pernyataan bahwa sebelum Inggris muncul, masyarakat multi-agama di India, Pakistan, dan Bangladesh hidup dalam harmoni. Namun, Ajay Verghese, seorang asisten profesor di University of California, menunjukkan bahwa jumlah kerusuhan komunal berbasis agama di era princely state — era sebelum British Raj — lebih besar daripada kerusuhan komunal pada era setelahnya. Kerusuhan-kerusuhan ini pun bernuansa politis, karena gesekan dari agama-agama juga berlangsung pada masa itu (Pillalamarri, 2019).

Jika menilik dari penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa partisi India pada 1947 lebih didorong oleh kepentingan dan filosofi lokal, termasuk teori two-nation, yang menyatakan bahwa dua kelompok agama terbesar di sub-benua India — Muslim dan Hindu — harus diberikan negara mereka sendiri, yaitu Pakistan dan India. Justifikasi dari konsep ini adalah pemahaman bahwa penggerak pemerintahan yang beragama Hindu dan Islam akan mengartikulasikan visi masa depan yang berbeda, padahal negara yang baru lahir membutuhkan seperangkat prinsip nasional yang satu, baik dalam aspek etnis, budaya, atau kewarganegaraan. Maka dari itu, para bapak Bangsa ketiga negara tersebut — seperti Nehru — sebenarnya sadar akan posisi agama dan politik yang jalin berkelindan. Alih-alih menjadi kompas utama yang terinstitusionalisasi, sekularisme dapat ditempatkan secara fungsional di pemerintahan sebagai sebuah dasar untuk menciptakan jaminan status kewarganegaraan yang sama tanpa memandang latar belakang agama (Gettleman et al., 2019).

Kemudian, posisi sekularisme di India, Bangladesh, dan Pakistan berubah-ubah sesuai dengan tendensi rezim yang berada pada tampuk kekuasaan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa proyek privatisasi agama, pemisahan agama dan politik, serta pengurangan signifikansi agama di ruang publik tidak pernah benar-benar terjadi di ketiga negara tersebut. Upaya pendekatan normatif dari elit pemerintahan ke masyarakat untuk mengadopsi sekularisme terbilang gagal karena pada era-era selanjutnya malah hal sebaliknya terjadi. Kedekatan publik dengan sentimen agama akhirnya dijadikan instrumen legitimasi oleh elit pemerintahan untuk menutupi kebobrokan rezimnya sendiri (Ahmad, 2011).

Kesenjangan antara janji pemimpin yang mendasarkan diri kepada sekularisme Barat dengan aksi realisasi janji tersebut yang kosong menjadikan politik agama sebagai sandaran alternatif oleh publik yang gelisah dan marah. Seringkali, pemegang kepentingan yang menggerakkan sayap konservatif agama mayoritas adalah kelompok ekstrim yang intoleran dan ortodoks, mereka tidak segan untuk merampas hak-hak kelompok marjinal dan minoritas. Maka dari itu, tendensi untuk mempolitisasi agama dan “menyenangkan” sayap konservatif oleh rezim yang berkuasa memiliki efek yang signifikan terhadap iklim demokrasi negara. Jika rezim memutuskan untuk mencari legitimasi kepada kelompok konservatif agama, maka secara otomatis kebijakan-kebijakannya pun akan permisif dengan tindakan intoleran yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

Esai ini akan mencoba untuk memfokuskan substansinya pada rezim oportunistik yang selalu mempunyai hasrat untuk mengamankan posisinya dengan menginstrumentalisasikan sentimen agama melalui agenda politik sayap konservatif. Benang merah ini akan ditarik dan ditilik dari proses serta hasil pemerintahan rezim Imran Khan di Pakistan, Modi di India, dan Sheikh Hasina di Bangladesh.

Landasan Teoritis : Instrumentalisme Agama dalam Politik

Identitas agama merupakan entitas yang terpisah dari ruang politik, namun jika seorang political entrepreneur mengaktivasi identitas tersebut sebagai sebuah alat untuk mencapai tujuan politis, maka identitas agama akan menjadi politically salient. Pendekatan instrumentalis yang dikemukakan Jonathan Fox ini dapat menjadi kacamata untuk menganalisis fenomena yang terjadi di Pakistan, India, dan Bangladesh, terutama ketika musim pemilihan umum sedang berlangsung. Identitas agama biasanya digunakan menjadi basis di kala negara mengalami transisi kekuasaan. Peta politik yang berantakan membutuhkan taktik dan bentuk aliansi baru, agama dapat dengan mudah menjadi basis aliansi tersebut. Pemerintah negara biasanya mencari kambing hitam di masa-masa krisis, sehingga menciptakan narasi “us vs them” yang berdasarkan aliansi agama dirasa efektif dan mudah (Fox, 2018).

Identitas politik dapat diinterpretasikan dalam banyak konotasi, namun secara esensial memiliki satu karakteristik utama, yaitu belonging based on commonly held beliefs. Kepercayaan ini diikat dengan nilai-nilai dan doktrin utama yang sama. Fox menuturkan bahwa keterlindanan antara politik dan identitas agama ini unik karena berada dan dapat menghubungkan populasi tanpa peduli batas negara-bangsa. Ada dua karakteristik utama dari identitas agama yang membuatnya punya kuasa lebih : 1) Agama menuntut pengikutnya untuk secara penuh melekatkan identitas dan aturan hidup sehari-hari kepada aturannya 2) Agama mempunyai kekuatan untuk mengkonstruksi imaji “liyan”. Dua karakteristik tersebut menempatkan identitas agama di tempat yang unik pada konstelasi politik, dimana agama dapat dijadikan basis maupun tujuan dari sebuah narasi dan mekanisme politik (Fox, 2018).

Berdasarkan pendekatan keamanan eksistensial, penduduk negara maju dan berkembang memiliki perbedaan pada tingkat pembangunan manusia dan kesetaraan ekonomi, termasuk di dalamnya tingkat kerentanan terhadap risiko dan level human security. Penghuni negara berkembang rentan terhadap kematian yang terlalu cepat, sulit mengakses kebutuhan mendasar untuk kebutuhan bertahan hidup, pun negara tidak punya kapabilitas untuk menyediakan jaring penyelamat kesejahteraan (Norris and Inglehart, 2012). Sehingga, ketika seseorang tumbuh di masyarakat yang kurang aman, nilai-nilai keagamaan menjadi penting. Institusi agama menjadi satu-satunya hal yang dapat diandalkan ketika institusi negara gagal memenuhi tanggung jawab penyediaan barang kolektif, seperti bantuan sosial dan perlindungan dari kekerasan.

Studi Kasus : Instrumentalisme Agama di Bangladesh, India, dan Pakistan

Gelombang pembunuhan kelompok minoritas di Bangladesh sejak 2013 membuat negara tersebut dilabeli oleh komunitas internasional sebagai “hotbed ISIS”. Dalam waktu kurun waktu dua tahun, ekstremis Islam telah membunuh puluhan blogger, aktivis sekuler, anggota sekte minoritas Muslim, Hindu, dan bahkan seorang biksu Buddha (Kugelman & Ahmad, 2017). Para korban merepresentasikan kelompok “liyan” dalam kekuasaan Islam politik yang monolitik dan ortodoks di negara tersebut. Dua kelompok berbeda telah mengklaim diri sebagai pelaku. Salah satu kelompok ekstremis ini — Jamaat-ul-Mujahideen Bangladesh (JMB) yang sekarang berafiliasi dengan ISIS — telah aktif sejak 2005, ketika Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) memerintah negara. Tidak hanya itu, para ekstrimis juga telah menciptakan gerakan sosial oposisi. Dikenal sebagai Hefazat-e-Islam, gerakan tersebut menggerakkan ratusan ribu orang ke jalanan Dhaka untuk menuntut hukum syariah, larangan kontak dengan anggota lawan jenis di depan umum, dan hukuman mati bagi ateis. Partai yang sedang memegang tampuk kekuasaan saat ini — rival berat BNP — yaitu Awami League terbilang pasif dalam menangani kasus naiknya ekstrimisme di Bangladesh. Terlepas dari kredensial sekuler Awami League, partai tersebut menghindari resiko untuk terlihat kurang saleh. Sajeeb Wazed, anak dari Perdana Menteri Hasina menyatakan bahwa jika Awami League mengambil posisi berada di belakang korban, partai tersebut akan kehilangan basis massa pendukung yang besar (Allchin, 2016).

India tentu saja menunjukkan pola yang serupa dalam hal manuver elit politik yang cenderung memperalat agama sebagai sarana penggaet basis massa. Modi dan Partai BJP secara gamblang menyatakan platform mereka yang populis dan pro-Hindu. Ada banyak bentuk fasisme politik yang teraktualisasikan dalam bentuk komunalisme Hindu mayoritas seperti peruntuhan masjid Babri di Uttar Pradesh demi pembangunan kuil Hindu yang disokong agendanya oleh kelompok nasionalis sayap kanan. Pada tahun 2019, Mahkamah Agung India memutuskan mendukung umat Hindu pada dalam perselisihan atas situs suci tersebut, memberikan kemenangan besar kepada Modi dan para pengikutnya yang sedang berproses untuk membentuk India yang lebih Hindu (Abi-Habib & Yasir, 2019). Hal ini tentu saja dicatat sebagai preseden konstitusional yang buruk mengingat friksi antar agama akan menjadi semakin panas. Banyak Muslim India khawatir bahwa keputusan pengadilan akan menurunkan status mereka menjadi warga kelas dua, pun akan memberdayakan ekstrimis Hindu (Vaishnav, 2019).

Pakistan, sementara itu, tenggelam dalam kasus pengadilan Asia Bibi. Pada tanggal 31 Oktober 2019, Mahkamah Agung Pakistan membebaskan Asia Bibi, seorang wanita Kristen yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan rendah karena tersangkut kasus penistaan (Gannon, 2020). Pembebasan itu membuat marah sayap kanan Islamis Pakistan. Pada malam setelahnya, Perdana Menteri Imran Khan memberikan pidato pembelaan putusan MA dengan nada yang tegas membela kelompok minoritas. Langkah tersebut terbilang berani, mengingat negara biasanya menyerah dengan narasi ortodoks, lalu membiarkan retorika fundamentalis menang. Namun beberapa hari setelah pidatonya, Khan tampak membalikkan keadaan: untuk menghadapi protes yang dipimpin oleh Tehreek-e-Labbaik (TLP), sebuah partai fundamentalis, pemerintahnya berjanji akan berusaha mencegah Asia Bibi meninggalkan Pakistan (Afzal, 2019). Hal ini kemudian terbukti hanyalah kedok dari manuver politik untuk menahan ratusan anggota TLP yang melanggar hukum, termasuk pemimpinnya, Khadim Rizvi. MA Pakistan kemudian menguatkan putusannya atas kasus Bibi, menyatakan dia telah bebas meninggalkan negara jika dia mau (Gannon, 2020).

Benang Merah dari Studi Kasus

Fenomena-fenomena di atas tentu memiliki benang merah yang sama, yaitu elit yang tidak mengerahkan sumber daya secara maksimal dalam agenda perlindungan terhadap kelompok minoritas yang telah dijamin secara konstitusional. Para elit politik di tampuk kekuasaan merasa berhutang budi (dan ingin mempertahankan atau takut kehilangan basis massa konservatif) kepada sayap-sayap religius ortodoks yang telah membantu mereka membangun konstituen politik saat kampanye. Identitas agama telah diperalat sedemikian rupa, dari pemilu ke pemilu, sehingga telah menjadi karakteristik tetap yang tidak bisa dipisahkan dari proses pengambilan keputusan yang menyangkut hak-hak kelompok marjinal dan minoritas. Negara yang tidak mampu menyediakan jaring pengaman dan kestabilan politik membuat sentimen massa mayoritas terikat dengan institusi agama konservatif yang stabil, sekaligus selalu terlihat berada pada pihak mereka. Hal ini tercermin dari kasus menguatnya posisi tawar kelompok Hefazat-e-Islam di Bangladesh yang dapat menggerakkan massa langsung ke jalan dan memperlihatkan solidaritas Islam ortodoks, manuver politik fasis Modi yang tidak mengindahkan perlindungan hak-hak dasar kewarganegaraan kepada minoritas Muslim, hingga cengkraman kelompok fundamentalis Tehreek-e-Labbaik (TLP) dan individu seperti ulama Maulana Tariq Jameel — yang menyalahkan pandemi pada wanita yang menari dan berpakaian minim — di pusara politik Pakistan (Gettleman, 2018).

Kasus Asia Bibi dan Imran Khan : Sebuah Pengecualian

Walaupun begitu, kasus Imran Khan menjadi sebuah pengecualian dari ketiga studi yang telah dijabarkan sebelumnya. Pakistan mungkin tidak akan menjadi sepenuhnya toleran ketika rezim Imran Khan berakhir. Namun, dukungan Khan untuk putusan pengadilan dalam kasus Bibi menjadi patokan yang sangat signifikan, mengingat negara biasanya menyerahkan kemudi putusan isu agama kepada kelompok Islam konservatif. Jika Khan mampu meyakinkan para pendukung konservatifnya bahwa ia memahami tuntutan akar rumput mereka sambil meminggirkan ekstrimis dengan agenda ortodoks sejati, ia mungkin dapat menyeimbangkan perjuangan antara kaum liberal dan konservatif Pakistan — atau setidaknya, menghambat arus instrumentalisasi Islam ortodoks dalam dinamika politik yang telah terjadi tanpa henti di negara tersebut sejak kemerdekaan.

Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh rezim Khan yang — mengutip artikel Foreign Affairs — politically savvy. Kemenangan Khan pada 2019 dengan menggaet militer sebagai sekutu dinilai sebagai kemenangan kursi sipil diatas kursi oligarki dan militer yang telah memegang kendali politik Pakistan sejak lahirnya negara tersebut (Gettelman, 2019). Walaupun, Khan naik ke tampuk kekuasaan dengan bantuan para jenderal Pakistan, ia telah menunjukkan diri ke publik bahwa ia bukanlah sekedar pion. Selama kampanye, ia tampil politisi terampil yang menggunakan janji ambisius reformasi dan pembangunan untuk merajut koalisi yang luas di pedesaan, tanpa retorika yang menitikberatkan pada platform agama (Afzan, 2019). Memang ia masih membawa-bawa sedikit pathos yang bernuansa agama seperti ambisinya untuk membentuk welfare state dengan parameter Madinah pada masa Nabi Muhammad. Namun, komitmen yang dibawa oleh Khan tidak dijalankan dengan mengorbankan hak-hak kelompok marjinal seperti anak-anak, perempuan, dan agama minoritas. Langkah konkrit yang rezimnya telah ambil lumayan konkrit, seperti berdiri di belakang Asia Bibi — seorang wanita minoritas yang dituduh melakukan pelanggaran hukum dengan pasal karet penistaan agama — dan pada akhir 2019 ia juga memulai peluncuran program asuransi kesehatan dengan target masyarakat miskin, wanita, dan anak-anak dengan malnutrisi (Afzan, 2019).

Jika komitmen-komitmen tersebut dilanjutkan, kelompok marjinal — terutama minoritas agama yang telah menderita di bawah undang-undang penistaan ​​sejak tahun 1980-an — akan menerima perlindungan yang lebih baik kedepannya. Jika dibandingkan dengan dua negara lainnya yang sepertinya tidak menunjukkan tanda-tanda pergerakan pendulum ke arah kiri demi perlindungan yang lebih baik bagi kaum tertindas, tentu saja Pakistan berada satu langkah maju daripada mereka.

Kesimpulan

Dengan menggunakan perspektif instrumentalisme agama dan pendekatan keamanan eksistensial, terlihat bahwa elemen agama sejak dulu, sekarang, dan kemungkinan nanti akan selalu digunakan menjadi alat peraih tampuk kekuasaan di India, Bangladesh, maupun Pakistan. Tingkat keamanan manusia yang rendah dikarenakan negara yang belum bisa menawarkan kestabilan dan jaring pengaman sosial yang baik membuat institusi agama sebagai lembaga alternatif yang dapat memainkan peran penting dalam politik. Namun, hal ini bukanlah sesuatu yang buruk jika dapat disiasati dengan tepat. Mengutip Fox, aktor-aktor agama yang strategis dapat memainkan peran signifikan dan konstruktif dalam membangun proses demokratisasi. Politik agama dapat menyediakan stabilitas jangka panjang bagi negara-negara rapuh tersebut, asalkan rezim dan masyarakat mempunyai komitmen kuat terhadap perlindungan kaum marjinal, baik secara ekonomi maupun sosial-politik.

Referensi

Abi-Habib, M., & Yasir, S. (2019). Court Backs Hindus on Ayodhya, Handing Modi Victory in His Bid to Remake India (Published 2019). Nytimes.com. Retrieved 29 June 2021, from https://www.nytimes.com/2019/11/08/world/asia/ayodhya-supreme-court-india.html.

Afzal, M. (2019). Imran Khan’s Failing Revolution. Foreign Affairs. Retrieved 29 June 2021, from https://www.foreignaffairs.com/articles/pakistan/2019-02-13/imran-khans-failing-revolution.

Ahmed, I. (2011). The Politics of Religion in South and Southeast Asia (3rd ed.). Taylor & Francis.

Allchin, J. (2016). The Rise of Extremism in Bangladesh. Foreign Affairs. Retrieved 29 June 2021, from https://www.foreignaffairs.com/articles/bangladesh/2016-06-09/rise-extremism-bangladesh.

Fox, J. (2018). An introduction to religion and politics: Theory and practice. Routledge.

Gannon, K. (2020). Minorities Under Attack as Prime Minister Imran Khan Pushes ‘Tolerant’ Pakistan. Thediplomat.com. Retrieved 29 June 2021, from https://thediplomat.com/2020/07/minorities-under-attack-as-prime-minister-imran-khan-pushes-tolerant-pakistan/.

Gettleman, J. (2018). The Rise, Fall and Rise Again of Imran Khan, Pakistan’s Next Leader. Nytimes.com. Retrieved 29 June 2021, from https://www.nytimes.com/2018/07/26/world/asia/imran-khan-pakistan-election.html.

Gettleman, J., Schultz, K., & Raj, S. (2019). Under Modi, a Hindu Nationalist Surge Has Further Divided India (Published 2019). Nytimes.com. Retrieved 29 June 2021, from https://www.nytimes.com/2019/04/11/world/asia/modi-india-elections.html.

Kugelman, M., & Ahmad, A. (2017). Why Extremism Is on the Rise in Bangladesh. Foreign Affairs. Retrieved 29 June 2021, from https://www.foreignaffairs.com/articles/asia/2017-07-27/why-extremism-rise-bangladesh.

Norris, P., & Inglehart, R. (2011). Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide (2nd

edition). Cambridge: Cambridge University Press.

Pillalamarri, A. (2019). The Origins of Hindu-Muslim Conflict in South Asia. Thediplomat.com. Retrieved 29 June 2021, from https://thediplomat.com/2019/03/the-origins-of-hindu-muslim-conflict-in-south-asia/.

Vaishnav, M. (2019). The Battle for India’s Soul. Foreign Affairs. Retrieved 29 June 2021, from https://www.foreignaffairs.com/articles/india/2019-05-06/battle-indias-soul.

Yasir, S., & Kumar, H. (2020). Museum in India Celebrating Muslim Dynasty Gets a Hindu Overhaul. Nytimes.com. Retrieved 29 June 2021, from https://www.nytimes.com/2020/09/15/world/asia/india-museum-muslims-hindus.html?searchResultPosition=39.

--

--