Menyusun Puzzle Pemutusan Rantai Impunitas Pelanggaran HAM Berat berupa Genosida di Indonesia tahun 1965 : Esai dari Perspektif Protest School Studi HAM

Refina Anjani Puspita
9 min readJan 23, 2022

--

Photo by MARCIN CZERNIAWSKI on Unsplash

Esai ini ditulis untuk memenuhi tugas akhir kelas Pengantar Studi Hak Asasi Manusia

Presiden Joko Widodo berjanji selama kampanye pemilihannya untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, termasuk yang terkait dengan 1965 (Triyono, 2015). Meski adanya komitmen berulang dari beliau untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah pada 1965 — seperti pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan oleh organ militer negara — lebih dari lima dekade setelahnya jutaan korban dan keluarganya masih juga menunggu kebenaran, keadilan, reparasi, dan rekonsiliasi. Pemerintah terbukti masih belum dapat memutus rantai impunitas (kekebalan terhadap hukum) aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Esai ini kemudian berniat untuk membedah perjuangan pemutusan rantai impunitas kejahatan HAM tersebut melalui pendekatan protest school. Pendekatan ini menilik HAM sebagai sesuatu yang harus diklaim dan diaspirasikan, sehingga sifatnya bukanlah hakiki. Otoritas pasti mempunyai kecenderungan untuk melanggar HAM, sehingga tuntutan dari pihak sipil yang termarjinalkan — kelompok rights holder — untuk mengklaim HAM dibutuhkan sebagai pagar atas kesewenang-wenangan otoritas yang dimaksud — terutama negara yang berperan sebagai duty bearer.

Walaupun negara telah mengungkapkan komitmen penyelesaian kasus HAM secara konstitusional melalui UU №26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, namun dalam protest school dipahami bahwa hukum bukanlah akhir dari perjuangan HAM yang ideal. Platform tersebut memiliki potensi untuk dibajak oleh elit yang berkuasa. Maka dari itu, diperlukan gerakan akar rumput yang kontinu untuk mengawal isu HAM diluar ruang-ruang institusi legal. Agar proses pengakuan dan pengadilan kejahatan HAM pada tahun 1965 terus berlanjut, organ-organ masyarakat sipil independen seperti Amnesty International Indonesia, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Asia Justice and Rights (AJAR), East-Timor and Indonesia Action Network (ETAN), La’o Hamutuk, TAPOL, Watch Indonesia!, Yayasan HAK, serta organ pemerintah beranggotakan masyarakat sipil seperti Komnas HAM perannya sangatlah sentral. Maka dari itu, upaya perjuangan berbagai organisasi sipil untuk memunculkan tuntutan kasus genosida tahun 1965 di Indonesia serta permasalahan pengorganisasiannya untuk menembus dominasi struktur akan menjadi fokus dalam esai ini.

Mencatat Kekerasan, Menuntut Keadilan : Melihat Pelanggaran HAM 1965

Pembunuhan massal dalam skala besar biasanya selalu dilakukan oleh negara, baik melalui tangan para serdadunya, polisi, para preman, dan/atau lewat mobilisasi ideologis kelompok-kelompok sipil yang menjadi sekutu negara tersebut (Anderson, 2013). Diperkirakan antara 500.000 hingga satu juta orang tewas dibunuh dan ratusan ribu lainnya ditahan untuk periode antara beberapa hari hingga lebih dari 14 tahun tanpa ada dakwaan atau peradilan sama sekali sejak tahun 1965, ketika militer Indonesia mulai melakukan sebuah serangan yang sistematis terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang dituduh sebagai simpatisannya (Amnesty Indonesia, 2017). Pembunuhan dengan target kelompok masyarakat khusus ini dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM berbentuk genosida (VICE, 2014).

Militer nasional yang seharusnya bertugas sebagai garda pertahanan negara dari serangan bangsa lain, malah menjagal masyarakat sipilnya sendiri. Dengan dalih ‘stabilitas’ politik, operasi pembantaian selalu berlangsung dengan terkendali, pun para pembantai amatir — kalangan preman (uncivil society) yang kemudian diinstitusionalisasikan sebagai Pemuda Pancasila — harus diam-diam diberikan jaminan oleh negara bahwa semuanya ‘sudah beres’, bahwa tidak satupun dari yang terlibat akan dihukum (VICE, 2014). Disinilah rantai impunitas dimulai dan terus dipertahankan hingga sekarang.

Praktik investigasi oleh Komnas HAM dan organisasi-organisasi HAM lainnya telah mendokumentasikan serangkaian pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, penghilangan paksa, perkosaan, perbudakan seksual, kejahatan-kejahatan seksual, perbudakan, penangkapan, penahanan semena-mena, dan kerja paksa (Komnas HAM, 2012). Banyak korban dan keluarga juga menghadapi pelanggaran-pelanggaran atas hak ekonomi, sosial, dan budaya mereka, dan hingga hari ini terus mengalami diskriminasi.

Upaya perlindungan HAM dengan intisari sebagai aksi melindungi pihak marjinal selalu jalin berkelindan dengan praktik demokrasi dalam lingkup masyarakat sipil. Paska 1965, terutama pada rezim Presiden Soeharto, gerakan-gerakan berdasar masyarakat sipil disterilisasi habis-habisan oleh pemerintah. Pihak yang sama juga kerap kali menargetkan pembungkaman tersebut kepada masyarakat yang digadang-gadang berafiliasi dengan ideologi komunisme. Naluri normal masyarakat Indonesia untuk membangun gerakan sipil yang kuat terhambat karena budaya kepedulian atas representasi ide dan kepentingan pernah dirampas, pun residu tersebut tidak pernah hilang malah dilanggengkan melalui berbagai pasal-pasal karet seperti UU ITE (Matanasi, 2021). Aturan-aturan tersebut secara kontinu mempersekusi inisiator diskusi-diskusi yang memiliki potensi untuk memunculkan tuntutan penyelesaian kasus HAM 1965 di masyarakat.

Protest School dan Upaya Perjuangan Pelanggaran HAM 1965

Mengingat, mempelajari dan memberikan keadilan atas peristiwa 1965 dan seterusnya adalah kewajiban negara, bukan kewajiban para korban untuk memperjuangkannya. Institusi pemerintah yang beranggotakan rakyat sipil seperti Komnas HAM serta basis konstitusional perlindungan HAM seperti Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan UU №26 Tahun 2000 telah dibentuk, namun instrumen-instrumen ini tidak cukup untuk dijadikan alat penuntut keadilan karena hingga sekarang belum ada langkah peradilan yang jelas dari pemerintah. Terbukti bahwa HAM bukanlah sesuatu yang given dan hakiki dalam institusi masyarakat, pun ketika dasar hukum yang telah disetujui bersama telah dibangun, perlindungan terhadap korban pelanggaran HAM 1965 belum diberikan secara utuh. Menurut protest school, hukum HAM memiliki kemungkinan besar untuk dimanfaatkan oleh elit yang seringkali memanipulasi rantai birokrasi (Dembour, 2010).

Berkenaan dengan hal tersebut, maka korban maupun keluarga korban peristiwa 1965–1966 terus melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan hak asasinya guna mendapatkan keadilan serta dipulihkannya hak-hak mereka yang telah terlanggar (redress) melalui berbagai organisasi civil society seperti KontraS dan Amnesty Internasional. Demi tip the balance dari status quo yang terus-menerus berpihak (bahkan merayakan) pelanggaran HAM 1965, perjuangan HAM mau tidak mau harus berasal dan/atau merepresentasikan kaum-kaum marjinal yang eksistensinya seringkali hilang dari ruang-ruang perjuangan itu sendiri. Hal ini senada dengan klaim protest school yang melihat HAM sebagai sesuatu yang tidak diberikan secara gratis, malah harus diperjuangkan serta direalisasikan dari pihak marjinal secara terus-menerus dengan cara memberikan tuntutan kepada pihak yang berkuasa. Dalam hal ini, para akademisi protes menganjurkan perjuangan tanpa henti untuk hak asasi manusia, karena satu ‘kemenangan’ tidak menandakan akhir dari ketidakadilan (Dembour, 2010). Ketika pelanggaran HAM 1965 tidak diakui secara sosial maupun konstitusional, kepentingannya harus dimunculkan serta diklaim agar dapat secara riil diinstitusionalisasikan secara menyeluruh.

Organisasi Civil Society dan KOMNAS HAM : Apakah Cukup?

Salah satu organ sentral dalam perjuangan pengawalan kasus pelanggaran HAM 1965 adalah Komisi Nasional HAM (Komnas HAM). Agar dapat menanggapi pengaduan korban, keluarga korban, dan masyarakat, Komnas HAM, sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, membentuk Tim Pengkajian berkenaan dengan peristiwa tersebut. Dari hasil pengkajian, kemudian Komnas HAM menindaklanjuti dengan membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965–1966. Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965–1966 menjalankan mandatnya sejak 1 Juni 2008 sampai dengan 30 April 2012. Dalam menjalankan mandatnya, tim ad hoc telah menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat serta melakukan pemeriksaan terhadap saksi/korban sebanyak tiga ratus empat puluh sembilan orang. Tim juga telah melakukan peninjauan secara langsung ke sejumlah daerah dalam rangka pelaksanaan penyelidikan (Komnas HAM, 2012). Komnas HAM kemudian mengumumkan hasil penyelidikannya dan menyatakan terdapat dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965/1966. Badan ini merekomendasikan dua hal yaitu meminta Jaksa Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan dan dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non yudisial (KKR) (KontraS, 2021). Meskipun telah mengeluarkan surat pernyataan serta merilis hasil kajian dan rekomendasi kebijakan, tidak ada respon berarti dari Jaksa Agung sebagai representasi dari negara (duty bearer).

Angin segar berhembus pada tahun 2014 ketika calon presiden Jokowi berjanji dalam pesan kampanyenya untuk mengungkap kasus 1965. Namun, persoalan ini kemudian dikesampingkan dari daftar prioritas. Jaksa Agung HM Prasetyo, menyatakan bahwa “solusi permanen” harus dicari untuk pelanggaran hak asasi manusia masa lalu termasuk “tragedi 1965” (The Jakarta Post, 2015). Solusi yang dimaksud akan dicari dalam upaya rekonsiliasi. Dengan demikian, Kejaksaan Agung mengabaikan rilis Komnas HAM pada 2012 lalu yang jelas-jelas telah melakukan pencarian fakta kebenaran dan keadilan. Padahal tanpa kedua fase tersebut, upaya rekonsiliasi tak banyak bermakna karena pemerintah seolah ingin mencari solusi sendiri tanpa melibatkan tuntutan dari kelompok yang termarjinalkan, yaitu korban dan keluarga korban pelanggaran HAM 1965. Hal ini menunjukkan bahwa, elit maupun birokrat masih bersikap manipulatif dalam proses peradilan kasus ini.

Jika dilihat dari kacamata yang lebih besar, problema ini dapat ditilik dari banyaknya aktor-aktor militer residu Orde baru yang masih memegang jabatan berpengaruh di lingkar satu pemerintahan hingga sekarang. Luhut Binsar Panjaitan dan Prabowo Subianto, dua perwira ABRI pada rezim Soeharto yang saat ini menempati posisi menteri strategis, masih getol mengabaikan kasus pelanggaran HAM 1965. Luhut menjelaskan, pemerintah enggan meminta maaf karena tragedi 1965 merupakan peristiwa sebab-akibat. “Mau minta maaf kepada siapa? Korban yang mana?” (Puspita, 2016). Ini mengindikasikan bahwa bahkan dengan institusi dan penyelidikan yang sudah ada, pemerintah masih tidak mau mengakui dosa besar genosida pada tahun 1965. Maka dari itu, perjuangan peradilan kasus HAM 1965 penting untuk terus dikawal karena tekanan tuntutan dari elemen masyarakat dan korban dibutuhkan agar dapat menembus struktur kekuasaan dan narasi yang dimonopoli oleh elit politik negara.

Selain rilis penyelidikan dari Komnas HAM, elemen-elemen masyarakat dari berbagai organisasi civil society seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Asia Justice and Rights (AJAR) dan banyak organisasi lain ikut mendampingi para korban dan keluarga korban yang membawa kasus HAM 65 ke mekanisme internasional melalui International People Tribunal (IPT) di Den Haag. IPT akhirnya meminta pemerintah Indonesia untuk segera meminta maaf, kemudian segera melakukan proses penyidikan dan mengadili semua kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia mengadakan simposium nasional 65 di Hotel Arya Duta yang diinisiasi oleh Menko Polhukam saat itu, Luhut Binsar Panjaitan. Simposium ini tidak lebih adalah upaya pemerintah untuk membuat forum tandingan yang beberapa keputusannya bertolak belakang dengan hasil rekomendasi IPT. Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa negara tidak perlu meminta maaf atas peristiwa 65 karena korban dari pihak tentara juga banyak (KontraS, 2021). Proses hukum yang mandek ini akhirnya menciptakan ketakutan pada kelompok masyarakat yang melakukan tuntutan karena ketika hak-hak pemulihan yang seharusnya diterima korban tidak kunjung diupayakan, pada yang saat bersamaan pula korban-korban dan pelaku semakin tua. Jika hanya mengandalkan organ pemerintah dan proses deliberasi konstitusional, potensi penguburan kasus tanpa penyelesaian yang utuh semakin besar. Apabila dibiarkan tanpa tuntutan politik yang kuat dari akar rumput, kasus 65 akan menjadi preseden buruk dalam catatan perlindungan HAM di Indonesia.

Maka dari itu, agar proses HAM dapat terus diklaim dan diaspirasikan, aksi untuk menuntut secara kontinu dibutuhkan untuk menjaga “kesegaran” kasus ini di benak masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. Hal ini dapat dicapai dengan mencatat kajian kekerasan secara detail sebagai modal bagi generasi kedepan untuk mengingat dan mempelajarinya. KontraS, salah satu dari banyak organisasi civil society yang terlibat dalam pengawalan kasus ini, secara berkala telah merilis dokumen yang mencatat pelanggaran HAM 65 secara komprehensif (KontraS, 2012). Selain itu, pendidikan HAM juga dibutuhkan agar terjadi internalisasi norma di masyarakat terkait nilai-nilai HAM seperti keberpihakan terhadap kaum marjinal. Langkah ini dapat menghilangkan stigma, diskriminasi, dan tradisi yang tidak berpihak terhadap korban tragedi 1965. Ketika budaya HAM yang menghormati suara-suara korban telah dihargai, korban dan organisasi civil society dapat merebut narasi kasus yang selama ini dipegang oleh pihak negara. Pembingkaian narasi yang berpihak yang pada kaum marjinal, jika terjadi dalam skala besar, diharapkan akan memunculkan tuntutan yang memiliki daya tawar dan resiko tinggi, sehingga hambatan berupa struktur kuasa yang menguntungkan pihak pemerintah dapat dijebol.

Referensi

AJAR. (2016). Indonesia: Penuhi jarak antara retorika dan realitas soal pelanggaran HAM massif 1965. Asia-ajar.org. Retrieved 24 June 2021, from http://www.asia-ajar.org/files/Joint%20PS_51%20Anniv_196566_%20bahasa.pdf.

Amnesty Indonesia. (2017). Indonesia should further investigate past human rights violations on 1965 Tragedy after declassified US documents published • Amnesty Indonesia. Amnesty Indonesia. Retrieved 24 June 2021, from https://www.amnesty.id/indonesia-investigate-past-human-rights-violations-1965-tragedy-declassified-us-documents-published/.

Anderson, B. (2013). Kebal Hukum dan Pemeranan Kembali. IndoPROGRESS. Retrieved 24 June 2021, from https://indoprogress.com/2013/06/kebal-hukum-dan-pemeranan-kembali/.

Dembour, M. (2010). What Are Human Rights? Four Schools of Thought. Human Rights Quarterly, 32(1), 1–20. https://doi.org/10.1353/hrq.0.0130

Komnas HAM. (2012). PERNYATAAN KOMNAS HAM TENTANG HASIL PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAM YANG BERAT PERISTIWA 1965–1966. Jdih.komnasham.go.id. Retrieved 24 June 2021, from https://jdih.komnasham.go.id/assets/uploads/files/info_hukum/eksekutif%20summary%20peristiwa%201965.pdf.

KontraS. (2012). Menyusun puzzle pelanggaran HAM 1965 (1st ed.). KontraS.

KontraS. (2021). Peristiwa 1965–1966 — KontraS. Kontras.org. Retrieved 24 June 2021, from https://kontras.org/kasus65/.

Matanasi, P. (2021). Sejarah Karier Luhut Panjaitan: Suram di Era Orba, Moncer Kemudian — Tirto.ID. tirto.id. Retrieved 24 June 2021, from https://tirto.id/sejarah-karier-luhut-panjaitan-suram-di-era-orba-moncer-kemudian-dklV

Persada, S. (2021). Dorong Revisi UU ITE, Peneliti: Perspektif HAM Masih Lemah di Kalangan Aparat. Tempo.co. Retrieved 24 June 2021, from https://nasional.tempo.co/read/1475951/dorong-revisi-uu-ite-peneliti-perspektif-ham-masih-lemah-di-kalangan-aparat.

Prabowo, H. (2021). DPR Minta Komnas HAM Selesaikan Kasus ’65 tanpa Proses Hukum — Tirto.ID. tirto.id. Retrieved 24 June 2021, from https://tirto.id/dpr-minta-komnas-ham-selesaikan-kasus-65-tanpa-proses-hukum-gbQ2.

Puspita, R. (2016). Tragedi 1965, Luhut: Pemerintah takkan Minta Maaf |Republika Online. Republika Online. Retrieved 24 June 2021, from https://republika.co.id/berita/nasional/politik/16/04/18/o5tuv8330-tragedi-1965-luhut-pemerintah-takkan-minta-maaf.

The Jakarta Post. (2015). Government brushes off Hague tribunal on 1965 massacre. The Jakarta Post. Retrieved 24 June 2021, from https://www.thejakartapost.com/news/2015/11/10/government-brushes-hague-tribunal-1965-massacre.html.

Triyana, B. (2015). Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965. Historia — Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Retrieved 24 June 2021, from https://historia.id/politik/articles/sepuluh-hal-yang-perlu-anda-ketahui-tentang-pengadilan-rakyat-internasional-kasus-1965-6aeNn/page/5.

VICE. (2014). Joshua Oppenheimer on “The Act of Killing”: The VICE Podcast 034 [Image]. Retrieved 24 June 2021, from https://www.youtube.com/watch?v=9ibGiP_9Jd8.

--

--