Individu, Bukan Negara!

Refina Anjani Puspita
10 min readJan 23, 2022

--

Uni Eropa dalam Pusara Perjuangan HAM Internasional

Photo by Christian Lue on Unsplash

Esai ini ditulis sebagai tugas akhir kelas Hubungan Internasional Eropa

Uni Eropa (UE) telah memiliki pendekatan baru dalam memberi hukuman pada para pelanggar hak asasi manusia di seluruh dunia, kali ini pendekatannya lebih mikroskopik dan partikular.

Pada 7 Desember 2020, Uni Eropa menandatangani EU Global Human Rights Sanction Regime (EUGHRSR) yang memberi instititusi tersebut kuasa untuk melarang perjalanan dan membekukan aset individu atau entitas yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia, termasuk genosida, perbudakan, penangkapan dan pembunuhan di luar jalur hukum, kekerasan berbasis gender, perdagangan manusia, dan pelanggaran lainnya yang “meluas, sistematis, atau menimbulkan masalah serius” (Kirby, 2020).

Hal tersebut merupakan sebuah langkah besar bagi UE mengingat legislasi ini dapat digunakan sebagai alat kebijakan untuk memperkuat komitmen UE terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi dalam tindakan eksternalnya, sebagaimana ditetapkan dalam Action Plan on Human Rights and Democracy 2020–2024 yang telah dirilis sembilan bulan sebelumnya (Wahl, 2021).

Pengadopsian legislasi ini merupakan gestur UE — baik secara simbolik maupun praktikal — untuk kembali mempertegas perannya sebagai aktor yang aktif pada perjuangan penegakan HAM. Salah satu prinsip dasar UE adalah komitmennya terhadap HAM, demokrasi, dan supremasi hukum (Lerch, 2020). Namun akhir-akhir ini peran tersebut seringkali dipertanyakan seiring kredibilitas UE untuk mengambil aksi yang efektif merosot tajam. Pada pertengahan 2020, represi pada pemilu Belarus dan Alexei Navalny — tokoh oposisi paling masyhur di Rusia — yang diracun memaksa UE untuk memberi sanksi pada aktor-aktor terkait peristiwa tersebut (Youngs, 2020). EUGHRSR muncul sebagai ekstensi respon UE ke persoalan tersebut. EU memproyeksikan dengan rezim aturan baru ini, manuver-manuver perlindungan HAM yang dilakukan kedepannya akan memiliki badan hukum yang jelas.

Semua anggota UE yang berjumlah 27 menyetujui langkah ini — termasuk negara-negara yang sering diklaim merosot indeks demokrasinya seperti Hungaria. Pandemi COVID-19 membuka ruang gerak yang lebih besar kepada banyak aktor berkuasa untuk bertindak sewenang-wenang. Hal tersebut menciptakan urgensi besar dalam tubuh UE untuk meloloskan legislasi ini (Ridgewell, 2020).

Banyak pihak yang melabeli EUGHRSR sebagai “Magnitsky Act-nya Eropa”(Lenzu, 2020). Amerika Serikat mempelopori manuver semacam ini pada 2012 lalu sebagai penghormatan terhadap pengacara HAM Rusia bernama Sergei Magnitsky yang terbunuh saat menjadi tahanan. Legislasinya mempunyai banyak kemiripan, termasuk memberi sanksi eksklusi (tidak boleh masuk ke wilayah negara) dan ekonomi (pembekuan aset di negara bersangkutan) terhadap para pelanggar HAM. Persamaan poin-poin legislasi ini dapat menjadi keuntungan besar mengingat dapat memunculkan koordinasi antar sekutu Barat — seperti Inggris dan Kanada yang telah mengadopsi hal yang sama — untuk bersama-sama menghadapi para pelanggar HAM.

UE sebenarnya telah lama mengikatkan diri terhadap perjuangan penegakan HAM. European Convention of Human Rights (ECHR) 1953 menjadi tonggak komitmen UE dalam perjuangan penegakan HAM (Craig, 2008). Bahkan, mereka mempunyai badan independen yang menangani persoalan ini yaitu European Court of Human Rights. Namun, relasi antara UE dan konvensi tersebut sebenarnya hampir tidak ada karena implementasinya dilakukan melalui negara-negara secara individual. Negara yang menandatangani konvensi terikat secara langsung terhadapnya, tetapi hal tersebut tidak berlaku sama untuk Uni Eropa. Gebrakan baru terjadi saat UE menandatangani Treaty of Lisbon 2007 karena pada saat itulah ia mengikatkan diri secara konstitusional pada ECHR. HAM yang sebelumnya merupakan isu internal, sejak saat itu menjadi komitmen global. UE kemudian mempunyai kewajiban untuk menyebarkannya ke seluruh dunia sebagai agenda kebijakan luar negeri (Peksen, 2009).

Bentuk dari Uni Eropa yang unik memberikan kompleksitas tersendiri dalam menyusun dan mengeksekusi komitmen ini sebagai sebuah kebijakan luar negeri, sehingga dalam menjalankannya UE perlu mengadopsi pendekatan komprehensif dalam bentuk kerangka kerja strategis yang menargetkan wilayah maupun isu spesifik. Demi mencapai hal tersebut UE membentuk EU Strategic Framework and Action Plan on Human Rights and Democracy (2012 & 2015). Namun, Muguruza — salah satu akademisi HI di University of Deusto, Spanyol — menilai bahwa di dalam kerangka strategis ini tidak ada komitmen yang tegas pada promosi demokrasi dan bahkan tidak ada definisi demokrasi sendiri itu seperti apa. Legislasi ini juga tidak menjelaskan bentuk demokrasi semacam apa yang ingin dipromosikan oleh UE. Poin penting seperti mengapa dan bagaimana isu HAM dan demokrasi berhubungan tidak dijelaskan secara rinci (Muguruza, 2018). Lalu, action plan yang dimiliki oleh UE juga tidak menyebutkan instrumen dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai target penegakan HAM. Hal ini tercermin dari tidak konsistennya UE dalam isu migrasi. Lantas, bagaimana komitmen UE terhadap HAM saat ini?

Esai ini akan mencoba untuk membedah motif UE dalam meloloskan legislasi EU Global Human Rights Sanction Regime (EUGHRSR) — yang berkaitan dengan komitmennya terhadap penegakan HAM pada Treaty of Lisbon dan EU Strategic Framework and Action Plan on Human Rights and Democracy. Argumen akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu 1) EUGHRSR dapat membuat proses penanganan pelanggaran HAM lebih fleksibel, 2) Fokus legislasi yang berada pada skala individu akan membuat UE terhindar dari konsekuensi tidak diinginkan, seperti penanganan kasus negara-sentris yang berpotensi merugikan aktor sipil tak bersalah, dan 3) Posibilitas untuk memupuk kerjasama internasional dalam perjuangan penegakan HAM berdasarkan kesamaan poin-poin legislasi, seperti dalam kasus Magnitsky Act milik Amerika Serikat.

Pemberian Sanksi yang Lebih Fleksibel

Sebelum EUGHRSR, prosedur yang diperlukan UE untuk menjatuhkan sanksi pada aktor individu prosesnya rumit dan panjang, dan oleh karena itu biasanya hanya dilakukan saat ada konflik kekerasan atau kejadian democratic-backsliding terjadi. Padahal, pelanggaran HAM memiliki ruang lingkup yang lebih besar daripada poin-poin tersebut, seperti maraknya isu pelanggaran HAM dalam bentuk jual-beli organ manusia. Mekanisme yang lama memiliki birokrasi berbelit-belit yang menghambat kerja penegakan HAM UE.

Berdasarkan sebuah artikel dalam Treaty of Lisbon mengenai terorisme, segala tindakan pembekuan dana atau aset harus diadopsi oleh Dewan dan Parlemen Eropa melalui prosedur legislatif normal (Peksen, 2009). Sebaliknya, kerangka sanksi EUGHSR menawarkan prosedur yang lebih sederhana dalam menangani kasus yaitu dengan cara memasukkan nama pelanggar HAM ke dalam daftar hitam tanpa harus mengadopsi undang-undang baru dengan prosedur konstitusional yang rumit setiap saat.

Namun, basis alasan ini bukanlah tanpa problematikanya sendiri. Ada risiko dalam memfokuskan sanksi yang semakin ketat pada individu ketika tantangan utama HAM malah ada di level struktural, ketika sistem sebuah negara memupuk semangat otokratik pada elit politiknya (Youngs, 2021). Walaupun begitu, kerangka legislasi baru ini memang memasukkan klausa pelanggaran dalam lingkup kebebasan berekspresi dan berserikat. Sebuah isu HAM yang penting untuk disorot, pun pelanggarnya diberi sanksi — terutama pelanggar dari negara dunia ketiga. Tetapi, konsiderasinya kemudian bergesar kepada kuantitas pelanggar HAM jenis ini yang besar. Bagaimana UE akan menghadapi gesekan antara realita dan legislasi dalam hal tersebut? Akan menarik untuk melihat implementasi EUGHSR dalam sisi ini.

Sanksi untuk Para Aktor yang Terlibat, Bukan Warga Sipil

Sanksi-sanksi sebelumnya yang dijatuhkan oleh UE — kecuali kasus pelanggaran dalam aspek terorisme — semuanya adalah sanksi berbasis negara. Pendekatan EUGHSR berbeda, kerangka baru ini akan berbasis pada pelanggaran individu. Meskipun sanksi berbasis negara dapat menyebabkan efek jera pada negara-negara yang melakukan pelanggaran HAM, sanksi tersebut juga dapat secara tidak sengaja (unintended consequences) mempengaruhi hak-hak sosial dan kualitas hidup warga sipil tak berdosa yang tinggal di negara sasaran (The European Union, 2018).

Sanksi yang menyentuh aspek perdagangan dengan target negara dunia ketiga dapat secara signifikan mengganggu distribusi pasokan makanan dan sanitasi ke kelompok rentan seperti kelompok kelas bawah atau perempuan. Di sisi lain, elit penindas di negara sasaran mungkin masih saja dapat mempertahankan kualitas hidup mereka karena memiliki jaminan sosial dan finansial yang mumpuni. Efektivitas sanksi berbasis negara otomatis berkurang karena para elit mungkin tidak terpengaruh olehnya. Oleh karena itu, sanksi dengan target individu daripada negara dapat menghindari dampak merugikan yang tidak diinginkan oleh warga sipil — pihak yang tidak memiliki andil dalam pelanggaran HAM, sekaligus lebih efektif dalam memberikan tekanan kepada aktor-aktor spesifik yang bertanggung jawab atas persoalan tersebut.

UE akhirnya mempunyai ruang gerak yang lebih bebas dan tepat sasaran dalam memilih aktor pelanggar HAM. Sebelumnya, UE hanya memberi sanksi negara-sentris, seperti kepada Syria, atau kepada pelanggar HAM individu dalam aspek terorisme dan serangan siber (Kirby, 2020). Kerangka EUGHSR ini akan melimitasi para elit pelanggar HAM yang hobi plesiran (dalam banyak kasus mereka mencari negara target suaka pajak) ke Eropa. Mereka tak lagi dapat menikmati privilese-privilese tersebut karena arus keamanan finansialnya ke Eropa telah disumbat oleh UE.

Posibilitas untuk Memperkuat Komitmen Negara-Negara Sekutu UE terhadap Penegakan HAM

Kerangka sanksi global EUGHSR banyak meminjam poin-poin legislasinya dari Magnitsky Act, sebuah legislasi yang memberi Amerika Serikat kuasa untuk menjatuhkan sanksi kepada aktor mana pun yang bertanggung jawab atau terkait dengan pelanggaran HAM atau korupsi di seluruh dunia (Harris, 2017). Negara-negara lain, seperti Inggris, Kanada, dan mungkin sebentar lagi Australia, juga telah mengesahkan legislasi yang serupa (Kirby, 2020). Langkah UE ini membuka jalan bagi mereka untuk bergabung dalam klub penegak HAM — mayoritas negara-negara sekutu Barat — yang telah dipimpin AS. Gayung bersambut, administrasi baru AS yang dipimpin oleh Biden-Harris kebetulan juga mempunyai niatan besar untuk membangun ulang kerjasama dengan sekutu-sekutu Barat mereka (Ward, 2020). Oleh karena itu, langkah untuk mengadopsi EUGHSR membuka kesempatan UE untuk memperkuat komitmen antar negara-negara sekutu terhadap isu penegakan HAM.

Jika legislasi-legislasi serupa Magnitsky Act dan EUGHSR yang mencekik ruang gerak pelanggar HAM diimplementasikan secara luas oleh berbagai negara, pengaruhnya akan signifikan dan membuat jera aktor-aktor tersebut. Julia Friedlander — seorang akademisi dalam Atlantic Council — melalui Vox menyatakan bahwa langkah ini penting bagi UE yang ingin dilihat, terutama oleh AS, sebagai aktor global yang kapabel dan bertanggung dalam isu penegakan HAM (Kirby, 2020). Ada kotak alat lengkap dan komprehensif dalam bentuk rezim EUGHRSR yang UE dapat gunakan untuk menunjukkan kesanggupannya dalam menangani persoalan ini.

Lantas, apa yang akan terjadi selanjutnya? Sejauh ini para aktivis HAM seperti Browder cukup puas dengan langkah UE. Ia menilai bahwa akan ada banyak diktator yang akan ketar-ketir karena hari-harinya untuk plesir di Eropa, AS, Kanada, Inggris, dan mungkin Australia akan berakhir. Sentimen yang sama juga digaungkan oleh Professor Sorensen dari Northwestern University, ia menyatakan bahwa akan lebih sulit untuk para pelanggar HAM untuk bertindak sewenang-wenang karena jika mereka melakukan hal tersebut, bank-bank yang dapat dipercaya di AS maupun UE tidak akan lagi menerima kekayaan mereka. Isolasi secara finansial maupun fisik ini dinilai akan memberi angin segar dalam mekanisme sanksi pelanggaran HAM (Ward, 2020).

Tercatat sejak akhir Maret 2021, UE telah memberi sanksi kepada sebelas individu dan empat entitas yang terdakwa menjadi pelanggar HAM, salah satunya adalah empat individu dan satu perusahaan yang mempunyai kaitan terhadap kasus detensi etnis Uighur di Tiongkok (Lenzu, 2020). Implementasi EUGHSR juga menarik perhatian Alexei Navalny — youtuber sekaligus tokoh oposisi paling mahsyur dari rezim Putin di Russia saat ini — untuk angkat suara. Ia menuntut UE untuk menargetkan kerangka legislasi ini kepada para oligarki di lingkaran Putin (Kirby, 2020). Respon-respon publik untuk EUGHSR secara umum memang positif, namun hal ini mungkin juga dikarenakan umurnya yang masih belum lama. Oleh karena itu, keefektivitasan legislasi belum dapat dinilai dengan menyeluruh.

Sebagai kesimpulan, sementara ini kerangka legislasi UE dapat meningkatkan dukungan, simpati, maupun tekanan dari negara-negara anggota UE yang umumnya tidak mendukung kebijakan HAM. Namun, UE perlu memperjelas pelanggaran maupun sanksi dengan lebih partikular, serta bagaimana variabel-variabel tersebut berdiri relatif pada legislasi restriksi yang lain. Pihak-pihak eksternal UE pun masih membutuhkan waktu untuk mencerna pergeseran fokus sanksi HAM yang dulunya negara-sentris ke tematik-individualis.

Seseorang yang sinis mungkin merasa bahwa mekanisme individualistis seperti ini mungkin menghambat penegakan HAM yang mempunyai tendensi pada munculnya rezim otokratik yang berakar pada masalah struktural. Individu-individu yang masuk dalam daftar hitam UE mungkin saja dapat dihapus namanya begitu saja tanpa pengaruh sistemik yang jelas di negara asalnya. Fokus sempit ini akhirnya mengamplifikasi persoalan yang lebih luas serta lebih sistemik seperti kurangnya hak demokrasi dan akuntabilitas, keduanya biasanya akar dari pelanggaran HAM yang UE khawatirkan sejak lama (Youngs, 2021). Walaupun masih terlalu dini untuk memvonis keefektivitasan EUGHSR, namun secara esensial dapat dikatakan bahwa legislasi yang berfokus pada dosa pelanggaran HAM dengan pendekatan individu ini hanya mencoba untuk menghadapi gejala, bukan malah akar, isu pelanggaran HAM.

Referensi

Craig, P. (2008). EU law (7th ed., p. 379). Oxford University Press.

Gómez Isa, F., Churruca, C., & Wouters, J. EU human rights and democratization policies (3rd ed., pp. 49–71). Routledge.

Harris, G. (2017). U.S. Imposes Sanctions on 52 People and Entities for Abuse and Corruption (Published 2017). Nytimes.com. Retrieved 28 May 2021, from https://www.nytimes.com/2017/12/21/world/global-magnitsky-act-sanctions.html.

Kirby, J. (2020). The EU can now punish human rights violators all over the world. Vox. Retrieved 28 May 2021, from https://www.vox.com/2020/12/10/22165389/european-union-magnitsky-human-rights-sanctions.

Lenzu, M. (2020). Council approves conclusions on the EU Action Plan on Human Rights and Democracy 2020–2024. Consilium.europa.eu. Retrieved 28 May 2021, from https://www.consilium.europa.eu/en/press/press-releases/2020/11/19/council-approves-conclusions-on-the-eu-action-plan-on-human-rights-and-democracy-2020-2024/.

Lerch, M. (2020). Human rights | Fact Sheets on the European Union | European Parliament. Europarl.europa.eu. Retrieved 28 May 2021, from https://www.europarl.europa.eu/factsheets/en/sheet/165/human-rights#:~:text=Human%20rights%20and%20democracy,-Human%20rights&text=The%20European%20Union%20is%20committed,and%20the%20rule%20of%20law.

Mann, S., & Haque, A. (2021). European Union: EU designates eleven individuals and four entities under Global Human Rights Sanctions Regime. Global Compliance News. Retrieved 28 May 2021, from https://globalcompliancenews.com/european-union-eu-designates-eleven-individuals-and-four-entities-under-global-human-rights-sanctions-regime-29032021/.

Peksen, D. (2009). Better or Worse? The Effect of Economic Sanctions on Human Rights. Journal Of Peace Research, 46(1), 59–77. https://doi.org/10.1177/0022343308098404

Ridgewell, H. (2020). Europe Targets Human Rights Abusers With ‘Magnitsky’ Laws. Voice of America. Retrieved 28 May 2021, from https://www.voanews.com/europe/europe-targets-human-rights-abusers-magnitsky-law.

The European Union. (2018). Targeted sanctions against individuals on grounds of grave human rights violations — impact, trends and prospects at EU level. Europarl.europa.eu. Retrieved 28 May 2021, from https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2018/603869/EXPO_STU(2018)603869_EN.pdf.

Verma, P. (2021). U.S. Joins Allies to Punish Chinese Officials for Human Rights Abuses. Nytimes.com. Retrieved 28 May 2021, from https://www.nytimes.com/2021/03/22/us/politics/sanctions-china-uighurs.html.

Wahl, T. (2021). New EU Sanctioning Regime for Human Rights Violations around the World — eucrim. Eucrim.eu. Retrieved 28 May 2021, from https://eucrim.eu/news/new-eu-sanctioning-regime-human-rights-violations-around-world/.

Ward, A. (2020). Joe Biden’s plan to fix the world. Vox. Retrieved 28 May 2021, from https://www.vox.com/2020/8/18/21334630/joe-biden-foreign-policy-explainer.

Youngs, R. (2021). The New EU Global Human Rights Sanctions Regime: Breakthrough or Distraction?. Carnegie Europe. Retrieved 28 May 2021, from https://carnegieeurope.eu/2020/12/14/new-eu-global-human-rights-sanctions-regime-breakthrough-or-distraction-pub-83415.

--

--